Pythagoras mempunyai ajaran yang sangat khas, yakni warna asketis dan
religiusnya. Salah satu ajaran Pytaghoras adalah tentang jiwa. Manusia yang hidup pada
zamannya
Pythagoras mempertanyakan tentang jiwa,
khususnya jiwa manusia. tetapi,
jiwa itu masih dikaitkan lagi dengan makhluk hidup lain. Pythagoras menjadi
salah satu tokoh yang membahas tentang jiwa manusia di zamannya. Tentu saja
pembahasannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Dalam
ajaran Pythagoras, bahwa jiwa itu kekal dan dapat berpindah-pindah. Sesudah kematian
manusia, jiwa manusia dapat bereinkarnasi atau berpindah pada hewan
dan
bila hewan itu mati, ia berpindah lagi dan seterusnya. Namun jika manusia
tersebut dalam hidupnya mampu menyucikan dirinya, jiwa bisa diluputkan dari
nasib reinkarnasi itu.
Penyucian itu dihasilkan dengan cara berpuasa.
Dalam salah satu puisi Xenopnhes, seperti diceritakan oleh Diogenes
Laertius, dikisahkan bahwa suatu ketika Pythagoras melihat seorang memukul
anjing. Pythagoras menyuruh orang itu agar jangan lagi memukul anjing, sebab
ia mendengar suara seorang temannya dalam salakan anjing tersebut.
Menurut Pythagoras, Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang
selamanya ada. Badan merupakan tempat tinggal jiwa, tetapi sama sekali tidak
mempunyai hubungan dengan badan. Jiwa ada di badan untuk sementara
saja.
Jiwa tidak selamanya ada di satu badan. Jiwa bisa keluar dari satu badan dan
harus pindah ke badan lain. Keberadaan jiwa itu tergantung dari katarsis (penyucian) badan. Penyucian ini
dilakukan dengan menjauhkan diri nafsu duniawi. Kalau badan sudah suci secara sempurna, jiwa
akan keluar dari badan dan kembali kepada Tuhan. Kalau
belum sempurna jiwa akan berpindah dari badan ke badan. Salah satu
cara penyucian jiwa yang dilakukan oleh Pythagoras adalah melakukan puasa.
Pembahasan
A. Puasa
menurut Pythagoras
Menurut pandangan Pythagoras manusia harus bertanggung jawab atas perpindahan
jiwanya. Ini merupakan tugas berat yang dihadapi manusia. Pythagoras
mempraktikkan ajarannya kepada murid-muridnya. Unsur penting yang ditekankan
kepada murid-muridnya dalam mempraktikkan ajaran ini adalah memenuhi
peraturan-peraturan yang ada. Peraturan
itu misalnya berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan
kacang, dan juga menjuahkan diri dari kesukaan badan.
Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh
manusia bersifat kekal dan bearda di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani
merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya adalah di alam
samawi. Untuk memperoleh hidup yang senang di alam samawi, manusia harus
membersihkan roh (katharsis) dengan
meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontempelasi.
Ajaran Pythagoras inilah, menurut sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya
zuhud dan sufisme dalam Islam.[1]
Salah satu cara penyucian jiwa yang dilakukan oleh
Pythagoras adalah melakukan puasa. Kalau kita teliti lebih lanjut, ternyata puasa adalah salah
satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya.
Puasa juga ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya.
Untuk menajamkan daya konsentrasi dan menenangkan pikiran,
maka Pythagoras berpuasa 40 hari sebelum dia menempuh ujian pada Universitas
dan kemudian dia memakai hal ini sebagai syarat bagi murid-muridnya setahun
ia diperkenankan mengikuti kuliah padanya. [2]
Jadi, menurut Pythagoras jiwa itu tidak dapat mati .Sesudah
kematian manusia jiwanya berpindah ke dalam hewan, dan bila hewan itu mati,
ia berpindah lagi, dan seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya jiwa bisa
diluputkan dari nasib reinkarnasi itu. Penyucian (katharsis) itu
dihasilkan dengan puasa dan berpantang
jenis makanan tertentu, seperti hewan dan kacang. Memenuhi
peraturan-peraturan semacam itu adalah unsure penting dalam kehidupan kaum
Pythagorean. Menurut
kepercayaannya itu Pythagoras menjadi penganjur vegetarisme, memakan
sayur-mayur dan buah-buahan saja.
Sesungguhnya, hakikat puasa adalah pengendalian diri. Inilah yang
membedakan kita dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Kita diberi Tuhan karunia
untuk dapat mengendalikan nafsu sekaligus mendayagunakan kekuatan pikiran.
Pengendalian diri merupakan bagian terpenting dari manajemen diri. Dengan
memiliki kemampuan mengendalikan diri, kita dapat mengendalikan orang lain
dan realitas kehidupan. [3]
B. Perbandingannya
dengan Islam
Dalam Islam, Allah SWT
memberi penghargaan terhadap manusia yang sempurna iman atau jiwanya, Allah
SWT berfirman pada QS. Al Fajr ayat 27-30 :
27. Hai
jiwa yang tenang.
28.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
29. Maka masuklah ke
dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
30. Masuklah ke
dalam syurga-Ku.[4]
Maksud dari ayat diatas adalah “Bahwa
apabila seseorang telah meninggal, maka ruhnya akan keluar berpindah ke alam
lain yang sudah dijanjikan oleh Allah, sesuai dengan amal perbuatannya ketika
masih hidup didunia. Tidak seperti yang dikatakan oleh Pythagoras bahwa ruh
seseorang yang telah mati pindah ketubuh hewan (reinkarnasi).
Syari’ah mengimani penyucian
jiwa atau Tazkiyat al-Nafs dan mengarah kepada hati terdalam manusia yang
merupakan pusat emosi di samping mengontrol nafsu yang ditujukan untuk
memiliki benda tertentu yang diharapkan akan mendatangkan kesenangan. Nafsu
sering sangat pribadi sehingga pemuasannya mengakibatkan manusia menyimpang
dari jalan yang benar. Mengontrol nafsu semacam itu nampak lebih fundamental
daripada memuaskannya, di mana pepatah mengatakan bahwa lebih baik, pasti,
menjadi seorang manusia yang tidak kenyang daripada seekor babi yang kenyang.
Karena itu manusia dilarang mengabaikan hari kiamat, dan rukun-rukun Islam –
percaya pada satu Tuhan, Salat, Puasa, Zakat, dan Haji – disusun dengan cara
demikian untuk menyucikan jiwa dan mengalihkan perhatian manusia dari
sifat egois kepada pengorbanan diri.
Nama-nama atau sifat-sifat
daripada jiwa yang merupakan daya-daya pendorong bagi manusia dalam melakukan
kegiatannya yang baik dan buruk. Nama-nama tersebut ialah :
·
Al-Nafsu’l-Ammarah.
Nafsu ini selalu menyuruh manusia melakukan perbuatan
keji dan munkar; menarik hati manusia untuk mencintai
perbuatan itu. Nafsu ini sumber segala akhlak yang
keji dan jahat.
·
Al-Nafsu’l
–Lawammah. Nafsu yang telah memperoleh nur kalbu, sehingga ia
sadar akan kejahatan yang dilakukannya, lalu
dicelanya perbuatan itu serta melakukan taubat dengan
mengucapkan istighfar.
·
Al-Nafsu’l-Mutma’innah.
Nafsu ini telah memperoleh nur kalbu, sehingga
hilanglah darinya sifat-sifat tercela dan diganti
dengan sifat-sifat yang terpuji. Nafsu ini adalah
sumber segala sifat yang baik dan mulia.
Pembersihan jiwa menurut ajaran
Islam adalah dengan cara menghilangkan sifat-sifat tidak terpuji yang
terdapat pada diri seseorang seperti Hasad, Dengki, Sombong, Pemarah, dan lain-lain.
Dengan mengucap istighfar, atau dengan mengetahui betapa buruknya
akibat yang akan diperoleh jika mengerjakan hal tersebut. Kalau hati /
jiwa sudah terlanjur.sakit, maka hendaklah diobati seperti yang
dianjurkan oleh Imam Ghazali yaitu :
1. Membaca
Al-Qur’an beserta maknanya
2. Perbanyaklah
melakukan puasa
3. Hendaklah
selalu melakukan shalat malam / tahajud
4. Sering-seringlah
hadir ke dalam majlis ilmu
5. Perbanyaklah
berdzikir (mengingat Allah)
Dengan demikian secara perlahan
jiwa kita akan bersih dari segala hal-hal yang mengotorinya. Tidak
seperti ajaran Pythagoras, jika ingin jiwanya bersih harus berpantangan
dengan suatu makanan tertentu.
Namun dalam hal lain, saya sependapat dengan Pythagoras
bahwa manusia hendaklah selalu mengontrol dirinya, dengan mengingat hal-hal
apa saja yang sudah diperbuatnya, sehingga dengan demikian manusia bisa cepat
menyesali perbuatannya yang tidak baik, dengan menucap
istighfar dan segera bertaubat. Karena apa-apa yang telah diperbuat di dunia
ada kaitannya dengan pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dalam hal puasa, sebagaimana banyak
dijelaskan dalam sejarah agama-agama. Dalam Islam, sebelum kedatangan Nabi
Muhammad, umat nabi-nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Puasa bukan sekadar
menahan lapar dan dahaga. Puasa merupakan ibadah individual sekaligus sosial
yang bertujuan untuk membentuk manusia yang lebih baik.
Puasa sejatinya bukan hanya ada
dalam tradisi Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, jauh sebelumnya, umat
agama lain juga melakukan puasa, begitu juga sama halnya dengan Pythagoras. Hal ini ditegaskan
dalam surat al-Baqarah ayat 183, " Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. " [5]
Puasa yang dilakukan Pythagoras,
seorang ahli matematika yang memerintahkan murid yang ingin menimba ilmu
kepadanya untuk terlebih dahulu melakukan puasa. Puasa yang dilakukan boleh
makan dan minum, hanya saja tidak diperbolehkan berbicara selama tujuh jam
dan harus dilakukan selama tiga tahun berturut-turut. Hal ini sangat efektif
untuk menjaga hati dan pikiran tetap bersih dan suci.
Bagi umat Islam, puasa
diwajibkan di bulan suci Ramadhan. Itu merupakan perintah dari Allah
khusus kepada umat Islam yang menjadikannya berbeda dengan umat lain.
Tentunya dengan ketentuan dan tata cara yang telah ditetapkan dengan sempurna.
Puasa yang dijalankan oleh umat Islam lebih ringan karena hanya dilaksanakan
satu bulan, yakni di bulan Ramadhan.
Dengan berpuasa kita akan
merasa lebih dekat dengan Tuhan. Hal ini dapat mendidik kita untuk berlaku
jujur. Misalnya saat berpuasa kita tidak makan sebelum waktunya berbuka,
meski makanan tersebut milik kita dan tidak ada orang yang melihat perbuatan
kita. Hal tersebut kita lakukan karena kita merasa dekat dan selalu diawasi
oleh Allah.
Jika terdapat orang yang
berpuasa namun tidak jujur, itu akan menghilangkan pahala dari puasa yang ia
jalankan Orang yang demikian hanya mendapat lapar dan haus saja. Puasa tidak hanya
menahan haus dan lapar. Tujuan akhir dari berpuasa adalah menjadi manusia
yang baik.
Saat berpuasa, kita merasa ada
yang mengontrol. Tuhan dekat dengan kita. Apa yang kita lakukan selalu merasa
diawasi. Dengan begitu kita akan selalu berlaku jujur.
Puasa bukan sekedar ritual
atau kewajiban keagamaan semata, melainkan hal yang sangat kita butuhkan.
Puasa atau penyangkalan diri juga dilakukan untuk mengasah batin dan
spiritual serta untuk menyelaraskan diri dengan alam semesta. Nabi Muhammad
saw, Yesus Kristus, Sidharta Gautama, Paramahansa Yogananda, dan sebagian
besar figur penting dari berbagai agama menerapkan puasa untuk memperoleh
pencerahan dan kesempurnaan jiwa. Para ilmuwan dan cendekiawan seperti
Socrates, Plato atau Pythagoras juga berpuasa untuk kesehatan dan mempertajam
daya pikir. Baahkan saat ini di dunia Barat mulai banyak diterapkan terapi
puasa sebagai penyembuhan alternatif. [6]
Di dalam filsafat, ibadah
merupakan epistemologi, yaitu salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan. Puasa merupakan salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,
sama halnya seperti salat dan ritual yang lain. Namun, bukan itu yang
terpenting. Yang terpenting adalah menghubungkan diri dengan Tuhan dari segi
aksiologinya, dari segi nilai, sejauh mana ibadah itu memberikan implikasi di
kehidupan nyata dengan baik.
Jadi puasa itu dapat
meningkatkan kesalihan kita, tidak hanya kesalihan individual dengan
melakukan ritual ibadah, melainkan juga dengan kesalihan sosial yakni dengan
berbagi kepada sesama. Karena sesungguhnya ibadah sosial lebih tinggi
kedudukannya dari pada ibadah ritual.
|
Kesimpulan
Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat
kekal dan bearda di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara
bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya adalah di alam samawi. Untuk
memperoleh hidup yang senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh (katharsis) dengan meninggalkan hidup
materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontempelasi. Ajaran Pythagoras
inilah, menurut sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme
dalam Islam.
Salah satu cara penyucian jiwa yang dilakukan oleh Pythagoras adalah
melakukan puasa. Kalau kita teliti lebih lanjut, ternyata puasa adalah salah satu
ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya. Puasa
juga ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya.
Untuk menajamkan daya konsentrasi dan menenangkan pikiran, maka Pythagoras
berpuasa 40 hari sebelum dia menempuh ujian pada Universitas dan kemudian dia
memakai hal ini sebagai syarat bagi murid-muridnya setahun ia diperkenankan
mengikuti kuliah padanya.
Dalam Islam, Allah SWT memberi penghargaan terhadap manusia yang sempurna
iman atau jiwanya, Allah SWT berfirman pada QS. Al Fajr ayat 27-30. Bahwa apabila
seseorang telah meninggal, maka ruhnya akan keluar berpindah ke alam lain yang
sudah dijanjikan oleh Allah, sesuai dengan amal perbuatannya ketika masih hidup
didunia. Tidak seperti yang dikatakan oleh Pythagoras bahwa ruh seseorang yang
telah mati pindah ketubuh hewan (reinkarnasi).
Di
dalam filsafat, ibadah merupakan epistemologi, yaitu salah satu metode untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa merupakan salah satu metode untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, sama halnya seperti salat dan ritual yang lain. Puasa
dalam agama Islam
tidak hanya menahan haus dan lapar. Tujuan akhir dari berpuasa adalah menjadi
manusia yang baik.
Puasa bukan sekedar ritual atau kewajiban keagamaan semata, melainkan hal
yang sangat kita butuhkan. Puasa atau penyangkalan diri juga dilakukan untuk
mengasah batin dan spiritual serta untuk menyelaraskan diri dengan alam
semesta. Nabi Muhammad saw, Yesus Kristus, Sidharta Gautama, Paramahansa
Yogananda, dan sebagian besar figur penting dari berbagai agama menerapkan puasa
untuk memperoleh pencerahan dan kesempurnaan jiwa. Para ilmuwan dan cendekiawan
seperti Socrates, Plato atau Pythagoras juga berpuasa untuk kesehatan dan
mempertajam daya pikir. Bahkan saat ini di dunia Barat mulai banyak diterapkan
terapi puasa sebagai penyembuhan alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
Amat Zuhri, M.Ag, Ilmu Tasawuf, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan,
2010
Abdul Manan bin hajji Muhammad Sobari, Kesempurnaan Ibadah Ramadhan, Republika,
Jakarta, 2005
Aribowo Suprajitno Adhi dan
Irianti Erningpraja, Menyentuh Hati
Menyapa Tuhan, PT. Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta, 2010
Departemen Agama RI , Al
Quran dan terjemahnya, CV.
Asy-Syifa’, Semarang, 1992
[1] Amat Zuhri, M.Ag, Ilmu Tasawuf, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2010, hlm. 8
[2] Abdul Manan bin hajji Muhammad
Sobari, Kesempurnaan Ibadah Ramadhan, Republika,
Jakarta, 2005, hlm. 97
[3] Aribowo Suprajitno Adhi dan
Irianti Erningpraja, Menyentuh Hati
Menyapa Tuhan, PT. Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta, 2010, hlm. 73
[4] Departemen Agama RI , Al
Quran dan terjemahnya, CV.
Asy-Syifa’, Semarang, 1992, hlm. 1059
[5] Ibid, hlm. 44
[6] Aribowo Suprajitno Adhi dan Irianti Erningpraja, Opcit, hlm. 74
0 komentar:
Posting Komentar