Pages

Kamis, 26 Juli 2012

Katharsis dan Puasa Pythagoras



Pendahuluan

Pythagoras mempunyai ajaran yang sangat khas, yakni warna asketis dan religiusnya. Salah satu ajaran Pytaghoras adalah tentang jiwa. Manusia yang hidup pada zamannya Pythagoras mempertanyakan tentang jiwa, khususnya jiwa manusia. tetapi, jiwa itu masih dikaitkan lagi dengan makhluk hidup lain. Pythagoras menjadi salah satu tokoh yang membahas tentang jiwa manusia di zamannya. Tentu saja pembahasannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Dalam ajaran Pythagoras, bahwa jiwa itu kekal dan dapat berpindah-pindah. Sesudah kematian manusia, jiwa manusia dapat bereinkarnasi atau berpindah pada hewan dan bila hewan itu mati, ia berpindah lagi dan seterusnya. Namun jika manusia tersebut dalam hidupnya mampu menyucikan dirinya, jiwa bisa diluputkan dari nasib reinkarnasi itu. Penyucian itu dihasilkan dengan cara berpuasa.


Dalam salah satu puisi Xenopnhes, seperti diceritakan oleh Diogenes Laertius, dikisahkan bahwa suatu ketika Pythagoras melihat seorang memukul anjing. Pythagoras menyuruh orang itu agar jangan lagi memukul anjing, sebab ia mendengar suara seorang temannya dalam salakan anjing tersebut.
Menurut Pythagoras, Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang selamanya ada. Badan merupakan tempat tinggal jiwa, tetapi sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan badan. Jiwa ada di badan untuk  sementara saja. Jiwa tidak selamanya ada di satu badan. Jiwa bisa keluar dari satu badan dan harus pindah ke badan lain. Keberadaan jiwa itu tergantung dari katarsis (penyucian) badan. Penyucian ini dilakukan dengan menjauhkan diri nafsu duniawi. Kalau badan sudah suci secara sempurna, jiwa akan keluar dari badan dan kembali kepada Tuhan. Kalau belum sempurna jiwa akan berpindah dari badan ke badan. Salah satu cara penyucian jiwa yang dilakukan oleh Pythagoras adalah melakukan puasa.

Pembahasan

A.    Puasa menurut Pythagoras
Menurut pandangan Pythagoras manusia harus bertanggung jawab atas perpindahan jiwanya. Ini merupakan tugas berat yang dihadapi manusia. Pythagoras mempraktikkan ajarannya kepada murid-muridnya. Unsur penting yang ditekankan kepada murid-muridnya dalam mempraktikkan ajaran ini adalah memenuhi peraturan-peraturan yang ada. Peraturan itu misalnya berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang, dan juga menjuahkan diri dari kesukaan badan.
Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan bearda di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya adalah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup yang senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh (katharsis) dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontempelasi. Ajaran Pythagoras inilah, menurut sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.[1]
Salah satu cara penyucian jiwa yang dilakukan oleh Pythagoras adalah melakukan puasa. Kalau kita teliti lebih lanjut, ternyata puasa adalah salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya. Puasa juga ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya.
Untuk menajamkan daya konsentrasi dan menenangkan pikiran, maka Pythagoras berpuasa 40 hari sebelum dia menempuh ujian pada Universitas dan kemudian dia memakai hal ini sebagai syarat bagi murid-muridnya setahun ia diperkenankan mengikuti kuliah padanya. [2]

Jadi, menurut Pythagoras jiwa itu tidak dapat mati .Sesudah kematian manusia jiwanya berpindah ke dalam hewan, dan bila hewan itu mati, ia berpindah lagi, dan seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya jiwa bisa diluputkan dari nasib reinkarnasi itu. Penyucian (katharsis) itu dihasilkan dengan puasa dan berpantang jenis makanan tertentu, seperti hewan dan kacang. Memenuhi peraturan-peraturan semacam itu adalah unsure penting dalam kehidupan kaum Pythagorean. Menurut kepercayaannya itu Pythagoras menjadi penganjur vegetarisme, memakan sayur-mayur dan buah-buahan saja.
Sesungguhnya, hakikat puasa adalah pengendalian diri. Inilah yang membedakan kita dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Kita diberi Tuhan karunia untuk dapat mengendalikan nafsu sekaligus mendayagunakan kekuatan pikiran. Pengendalian diri merupakan bagian terpenting dari manajemen diri. Dengan memiliki kemampuan mengendalikan diri, kita dapat mengendalikan orang lain dan realitas kehidupan. [3]

B.     Perbandingannya dengan Islam
Dalam Islam, Allah SWT memberi penghargaan terhadap manusia yang sempurna iman atau jiwanya, Allah SWT berfirman pada QS. Al Fajr ayat 27-30 :  
27. Hai jiwa yang tenang.
28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
29. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
30. Masuklah ke dalam syurga-Ku.[4]

Maksud dari ayat diatas adalah “Bahwa apabila seseorang telah meninggal, maka ruhnya akan keluar berpindah ke alam lain yang sudah dijanjikan oleh Allah, sesuai dengan amal perbuatannya ketika masih hidup didunia. Tidak seperti yang dikatakan oleh Pythagoras bahwa ruh seseorang yang telah mati pindah ketubuh hewan (reinkarnasi).
Syari’ah mengimani penyucian jiwa atau Tazkiyat al-Nafs dan mengarah kepada hati terdalam manusia yang merupakan pusat emosi di samping mengontrol nafsu yang ditujukan untuk memiliki benda tertentu yang diharapkan akan mendatangkan kesenangan. Nafsu sering sangat pribadi sehingga pemuasannya mengakibatkan manusia menyimpang dari jalan yang benar. Mengontrol nafsu semacam itu nampak lebih fundamental daripada memuaskannya, di mana pepatah mengatakan bahwa lebih baik, pasti, menjadi seorang manusia yang tidak kenyang daripada seekor babi yang kenyang. Karena itu manusia dilarang mengabaikan hari kiamat, dan rukun-rukun Islam – percaya pada satu Tuhan, Salat, Puasa, Zakat, dan Haji – disusun dengan cara demikian untuk menyucikan  jiwa dan mengalihkan perhatian manusia dari sifat egois kepada pengorbanan diri.
Nama-nama atau sifat-sifat daripada jiwa yang merupakan daya-daya pendorong bagi manusia dalam melakukan kegiatannya yang baik dan buruk. Nama-nama tersebut ialah :
·         Al-Nafsu’l-Ammarah. Nafsu ini selalu menyuruh manusia melakukan perbuatan     keji dan munkar; menarik hati manusia untuk mencintai perbuatan itu. Nafsu ini     sumber segala akhlak yang keji dan jahat.
·          Al-Nafsu’l –Lawammah. Nafsu yang telah memperoleh nur kalbu, sehingga ia     sadar akan kejahatan yang dilakukannya, lalu dicelanya perbuatan itu serta     melakukan taubat dengan mengucapkan istighfar.
·         Al-Nafsu’l-Mutma’innah. Nafsu ini telah memperoleh nur kalbu, sehingga     hilanglah darinya sifat-sifat tercela dan diganti dengan sifat-sifat yang terpuji.     Nafsu ini adalah sumber segala sifat yang baik dan mulia.
Pembersihan jiwa menurut ajaran Islam adalah dengan cara menghilangkan sifat-sifat  tidak terpuji yang terdapat pada diri seseorang seperti Hasad, Dengki, Sombong, Pemarah, dan lain-lain. Dengan mengucap istighfar, atau dengan mengetahui betapa buruknya  akibat yang akan diperoleh jika mengerjakan hal tersebut. Kalau hati / jiwa  sudah terlanjur.sakit, maka hendaklah diobati seperti yang dianjurkan oleh Imam Ghazali yaitu :
1.  Membaca Al-Qur’an beserta maknanya
2.  Perbanyaklah melakukan puasa
3.  Hendaklah selalu melakukan shalat malam / tahajud
4.  Sering-seringlah hadir ke dalam majlis ilmu
5.  Perbanyaklah berdzikir (mengingat Allah)
Dengan demikian secara perlahan jiwa kita akan bersih dari segala hal-hal yang mengotorinya. Tidak seperti  ajaran Pythagoras, jika ingin jiwanya bersih harus berpantangan dengan suatu makanan tertentu.
Namun dalam hal lain, saya sependapat dengan Pythagoras bahwa manusia hendaklah selalu mengontrol dirinya, dengan mengingat hal-hal apa saja yang sudah diperbuatnya, sehingga dengan demikian manusia bisa cepat menyesali perbuatannya yang tidak baik, dengan menucap istighfar dan segera bertaubat. Karena apa-apa yang telah diperbuat di dunia ada kaitannya dengan pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dalam hal puasa, sebagaimana banyak dijelaskan dalam sejarah agama-agama. Dalam Islam, sebelum kedatangan Nabi Muhammad, umat nabi-nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Puasa merupakan ibadah individual sekaligus sosial yang bertujuan untuk membentuk manusia yang lebih baik.
Puasa sejatinya bukan hanya ada dalam tradisi Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, jauh sebelumnya, umat agama lain juga melakukan puasa, begitu juga sama halnya dengan Pythagoras. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 183, " Hai orang-orang yang  beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. " [5]
Puasa yang dilakukan Pythagoras, seorang ahli matematika yang memerintahkan murid yang ingin menimba ilmu kepadanya untuk terlebih dahulu melakukan puasa. Puasa yang dilakukan boleh makan dan minum, hanya saja tidak diperbolehkan berbicara selama tujuh jam dan harus dilakukan selama tiga tahun berturut-turut. Hal ini sangat efektif untuk menjaga hati dan pikiran tetap bersih dan suci.
Bagi umat Islam, puasa diwajibkan di bulan suci Ramadhan. Itu merupakan  perintah dari Allah khusus kepada umat Islam yang menjadikannya berbeda dengan umat lain. Tentunya dengan ketentuan dan tata cara yang telah ditetapkan dengan sempurna. Puasa yang dijalankan oleh umat Islam lebih ringan karena hanya dilaksanakan satu bulan, yakni di bulan Ramadhan.
Dengan berpuasa kita akan merasa lebih dekat dengan Tuhan. Hal ini dapat mendidik kita untuk berlaku jujur. Misalnya saat berpuasa kita tidak makan sebelum waktunya berbuka, meski makanan tersebut milik kita dan tidak ada orang yang melihat perbuatan kita. Hal tersebut kita lakukan karena kita merasa dekat dan selalu diawasi oleh Allah.
Jika terdapat orang yang berpuasa namun tidak jujur, itu akan menghilangkan pahala dari puasa yang ia jalankan Orang yang demikian hanya mendapat lapar dan haus saja. Puasa tidak hanya menahan haus dan lapar. Tujuan akhir dari berpuasa adalah menjadi manusia yang baik.
Saat berpuasa, kita merasa ada yang mengontrol. Tuhan dekat dengan kita. Apa yang kita lakukan selalu merasa diawasi. Dengan begitu kita akan selalu berlaku jujur.
Puasa bukan sekedar ritual atau kewajiban keagamaan semata, melainkan hal yang sangat kita butuhkan. Puasa atau penyangkalan diri juga dilakukan untuk mengasah batin dan spiritual serta untuk menyelaraskan diri dengan alam semesta. Nabi Muhammad saw, Yesus Kristus, Sidharta Gautama, Paramahansa Yogananda, dan sebagian besar figur penting dari berbagai agama menerapkan puasa untuk memperoleh pencerahan dan kesempurnaan jiwa. Para ilmuwan dan cendekiawan seperti Socrates, Plato atau Pythagoras juga berpuasa untuk kesehatan dan mempertajam daya pikir. Baahkan saat ini di dunia Barat mulai banyak diterapkan terapi puasa sebagai penyembuhan alternatif. [6]
Di dalam filsafat, ibadah merupakan epistemologi, yaitu salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa merupakan salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sama halnya seperti salat dan ritual yang lain. Namun, bukan itu yang terpenting. Yang terpenting adalah menghubungkan diri dengan Tuhan dari segi aksiologinya, dari segi nilai, sejauh mana ibadah itu memberikan implikasi di kehidupan nyata dengan baik.
Jadi puasa itu dapat meningkatkan kesalihan kita, tidak hanya kesalihan individual dengan melakukan ritual ibadah, melainkan juga dengan kesalihan sosial yakni dengan berbagi kepada sesama. Karena sesungguhnya ibadah sosial lebih tinggi kedudukannya dari pada ibadah ritual.




Kesimpulan

Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan bearda di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya adalah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup yang senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh (katharsis) dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontempelasi. Ajaran Pythagoras inilah, menurut sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
Salah satu cara penyucian jiwa yang dilakukan oleh Pythagoras adalah melakukan puasa. Kalau kita teliti lebih lanjut, ternyata puasa adalah salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya. Puasa juga ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya.
Untuk menajamkan daya konsentrasi dan menenangkan pikiran, maka Pythagoras berpuasa 40 hari sebelum dia menempuh ujian pada Universitas dan kemudian dia memakai hal ini sebagai syarat bagi murid-muridnya setahun ia diperkenankan mengikuti kuliah padanya.
Dalam Islam, Allah SWT memberi penghargaan terhadap manusia yang sempurna iman atau jiwanya, Allah SWT berfirman pada QS. Al Fajr ayat 27-30. Bahwa apabila seseorang telah meninggal, maka ruhnya akan keluar berpindah ke alam lain yang sudah dijanjikan oleh Allah, sesuai dengan amal perbuatannya ketika masih hidup didunia. Tidak seperti yang dikatakan oleh Pythagoras bahwa ruh seseorang yang telah mati pindah ketubuh hewan (reinkarnasi).
Di dalam filsafat, ibadah merupakan epistemologi, yaitu salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa merupakan salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sama halnya seperti salat dan ritual yang lain. Puasa dalam agama Islam tidak hanya menahan haus dan lapar. Tujuan akhir dari berpuasa adalah menjadi manusia yang baik.
Puasa bukan sekedar ritual atau kewajiban keagamaan semata, melainkan hal yang sangat kita butuhkan. Puasa atau penyangkalan diri juga dilakukan untuk mengasah batin dan spiritual serta untuk menyelaraskan diri dengan alam semesta. Nabi Muhammad saw, Yesus Kristus, Sidharta Gautama, Paramahansa Yogananda, dan sebagian besar figur penting dari berbagai agama menerapkan puasa untuk memperoleh pencerahan dan kesempurnaan jiwa. Para ilmuwan dan cendekiawan seperti Socrates, Plato atau Pythagoras juga berpuasa untuk kesehatan dan mempertajam daya pikir. Bahkan saat ini di dunia Barat mulai banyak diterapkan terapi puasa sebagai penyembuhan alternatif.

      
DAFTAR PUSTAKA

Amat Zuhri, M.Ag, Ilmu Tasawuf, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2010

Abdul Manan bin hajji Muhammad Sobari, Kesempurnaan Ibadah Ramadhan, Republika, Jakarta, 2005

Aribowo Suprajitno Adhi dan Irianti Erningpraja, Menyentuh Hati Menyapa Tuhan, PT. Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta, 2010

Departemen Agama RI , Al Quran dan terjemahnya,  CV. Asy-Syifa’, Semarang, 1992





[1]  Amat Zuhri, M.Ag, Ilmu Tasawuf, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2010, hlm. 8
[2] Abdul Manan bin hajji Muhammad Sobari, Kesempurnaan Ibadah Ramadhan, Republika, Jakarta, 2005, hlm. 97
[3] Aribowo Suprajitno Adhi dan Irianti Erningpraja, Menyentuh Hati Menyapa Tuhan, PT. Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta, 2010, hlm. 73
[4]  Departemen Agama RI , Al Quran dan terjemahnya,  CV. Asy-Syifa’, Semarang, 1992, hlm. 1059
[5] Ibid, hlm. 44
[6] Aribowo Suprajitno Adhi dan Irianti Erningpraja, Opcit, hlm. 74

0 komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates